Rabu, 04 Mei 2011

SOSIALISASI JABATAN FUNGSIONAL PRANATA HUMAS PADA LEMBAGA PEMERINTAH

Tulisan ini disarikan dari paper yang disampaikan pada “Temu Teknis Nasional Pejabat Fungsional Non Peneliti” yang diselenggarakan oleh Puslitbangtan di Aula Puslitbang Gizi Jl. Dr. Sumeru Bogor dari tanggal 26 – 27 Agustus 2008.
Pendahuluan:
Makalah ini membahas latar belakang sejarah, persepsi, serta peranan pranata humas sebagai mediator dan komunikator yang menjembatani lembaga, intansi pemerintah atau perusahaan dengan masyarakat. Pembahasan dilanjutkan dengan landasan kerja humas, kode etik dan usaha-usaha peningkatan kinerja humas, karena kehumasan belum menjadi daya tarik dan dianggap sebagai barang usang dan warisan masa lalu. Kemudian disampaikan apa yang menjadi tantangan dan masalah yang dihadapi para humas agar kedepan tenaga humas dapat lebih berperan aktif sebagai sumber informasi utama tentang pemerintahan. Tulisan diakhiri dengan mengutip pesan, harapan dan kritik dari beberpa pejabat terkait kinerja humas sehingga dapat memicu dan merangsang para humas untuk meningkatkan professionalisme.
JUPEN vs HUMAS:
Kalau tempo ‘doeloe’ kita sangat mengenal istilah “jupen” (Juru Penerang) dibawah Departemen Penerangan (Deppen), kini kita lebih akrab dengan istilah ‘Humas’ (Hubungan Masyarakat) yang lebih merata diberbagai lembaga Pemerintahan. Peran Jupen pada Orde Baru adalah satu-satunya corong pemerintah dalam menyampaikan informasi pemerintahan kepada Masyarakat. Namun seiring bergulirnya waktu Deppen dilikuidasi tanggal 26 Oktober 1999, dan pemberlakuan UU No 12/1999 tentang Otonomi Daerah (OTDA) yang menyebabkan fungsi jupen di pusat dan di daerah tidak berfungsi.
Euphoria kebebasan OTDA berakibat setiap daerah memiliki kebijakan yang berbeda terkait dengan pelayanan informasi kepada masyarakat. Di era Presiden Megawati dibentuk Lembaga Informasi Nasional (LIN) dan membentuk jabatan fungsional dan terbuka bagi semua PNS sebagai pengganti Jupen.
Kehadiran LIN belum memenuhi harapan sehingga dibentuk Kementerian baru Kementerian Komunikasi dan Informasi, lagi-lagi hal ini mengakibatkan tumpang tindihnya kegiatan dan fungsi pelayanan informasi. Akhirnya pemerintah merampingkan lembaga terkait informasi dengan menggabungkan LIN, Ditjen Postel dan Kementerian Komunikasi dan Informasi menjadi Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) sekarang.
Dibawah payung Depkominfo sebagai pembina, maka era Jabatan Pranata Fungsional Humas (JPFH) dimulai, semakin populer dan tersebar ke seluruh jajaran lembaga Pemerintah Pusat maupun Daerah. Namun minat menjadi tenaga humas masih dipandang kurang menarik dan ‘sebelah mata’ oleh banyak kalangan PNS, mungkin karena latar belakang historis yang kurang baik dan sosialiasi yang kurang gencar.
Profesi Kehumasan:
Profesi dibidang kehumasan Indonesia terus berbenah diri, mulai dari peningkatan mutu dengan melakukan temu humas dan bimbingan teknis sampai peningkatan jumlah SDM dilakukan dengan membuka peluang menjadi humas dengan model inpassing maupun alih jabatan. Deptan telah memiliki 18 JPFH (Juni 2008), jumlah yang masih jauh dari memadai bila dibandingkan dengan jumlah seluruh PNS Deptan (20.248). Dari sisi tunjangan, pemerintah secara kontinu telah merevisi dengan meningkatkan tunjangan petugas humas dalam 3 tahun terakhir (2005, 2006, dan 2007). Dengan perbaikan tunjangan Humas diharapkan mereka mampu berbuat banyak dalam meningkatkan performa kerja yang lebih baik.
Landasan Kerja JFPH.
Seorang humas harus mengetahui dasar operasional kerjanya, tanpa itu humas akan bekerja tanpa kendali dan bisa menyesatkan. Selain peraturan, undang-undang kehumasan dan kode etik yang telah diatur, kiranya pengetahuan humas tentang pers, sebagai mitra kerja adalah penting. Dalam berbagai kesempatan temu humas, kemitraan yang dibina antara humas dengan kalangan pers telah ditunjukkan dengan mengundang mereka pada beberapa acara untuk peliputan, sehingga berita yang diterima jauh lebih berimbang dengan prinsip ’cover both sides’ dapat dilakukan. Berikut adalah beberapa dasar hukum yang mengatur kerja bidang kehumasan.
1. Permeneg PAN No. PER/109/M.PAN/11/2005 tanggal 1 Nopember 2005 Tentang: Jabatan Fungsional Pranata Hubungan Masyarakat dan Angka Kreditnya.
2. Peraturan Bersama Menkominfo dan Kepala BKN No. 19/PER/M.KOMINFO/8/2006 dan No. 18 A Tahun 2006 tanggal 1 Agustus 2006 Tentang: Pertunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pranata Humas dan Angka Kreditnya.
3. Permenkominfo No. 03/PER/M/KOMINFO/3/2008 tanggal 3 Maret 2008, Tentang: Pedoman Penyusunan Formasi Jabatan Fungsional Pranata Humas.
4. Permenkominfo No. 04/PER/M/KOMINFO/3/2008 tanggal 3 Maret 2008, Tentang: Petunjuk Teknis Pengangkatan Jabatan/Pangkat, Pembebasan Sementara, Pengangkatan Kembali dan Pemberhentian dalam dan dari Jabatan Fungsional Pranata Humas.
5. Permenkominfo No. 05/PER/M/KOMINFO/3/2008 tanggal 3 Maret 2008, Tentang: Tata Kerja dan Tata Cara Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Pranata Humas.
6. Kepmenkominfo No.371/KEP/M.KOMINFO/8/2007 tanggal 28 Agustus 2007 Tentang: Kode Etik Humas Pemerintahan.
7. Undang Undang Pers (UUP) No:40/1999.
8. Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia dan Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia
(KEJ PWI).
9. UU No 14 tanggal 3 April tahun 2008 Tentang: Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik
(UUKIP).
Pranata Humas dan Tugas-tugasnya.
Pasal 3 Peraturan Menegpan No. PER/109/M.PAN/11/2005) mendefinisikan Pranata Humas sebagai berikut: Pranata Humas, adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis dalam melakukan kegiatan informasi dan kehumasan pada instansi pemerintah.
Sementara tugas Pranata Humas telah diatur pada Pasal 4 dengan bunyi sebagai berikut: Tugas pokok Pranata Humas adalah melakukan kegiatan pelayanan informasi dan kehumasan, meliputi perencanaan pelayanan informasi dan kehumasan, pelayanan informasi, pelaksanaan hubungan kelembagaan, pelaksanaan hubungan personil, dan pengembangan pelayanan informasi dan kehumasan.
Humas dan Pers.
Seorang Pranata Humas sebagai tenaga professional bukanlah seorang yang harus menunggu perintah, idealnya seorang humas harus menggunakan sistem ’jemput bola’. Oleh karena itu mobilitas seorang humas tidak boleh terhenti hanya karena misalnya ’belum ada perintah’ atau ’belum disuruh’ atasan. Berkali-kali dalam beberapa temu humas yang diadakan selalu dikuitsertakan beberapa insan pers untuk meliput kegiatan, sebagai pertanda bahwa Humas dan Pers adalah mitra kerja. Dalam beberapa kesempatan sering humas diminta untuk aktif mencari liputan, berita dan mengemasnya dalam bentuk laporan atau reportasi. Jadi, intinya seorang humas harus dapat tampil layaknya seorang reporter atau wartawan. Inilah yang menyebabkan seorang humas harus sedikit banyak tahu seluk beluk tentang Pers. Humas dan Pers adalah dua saudara kembar dan seharusnya mampu membina kemitraan dalam bekerja.
Ditilik dari asalnya memang Humas dan Pers berasal dari satu rumpun yaitu keluarga Komunikasi, namun harus diakui dalam kenyataannya keduanya hidup terpisah dengan perbedaan tugas dan fungsi masing-masing. Terutama dalam mengemban misi bahwa humas mewakili badan usaha, lembaga atau instansi dimana dia bekerja, sementara pers lebih menonjolkan sisi mewakili aspirasi publik (khalayak ramai). Ketegangan terjadi bila sumber informasi dari humas dikorbankan oleh kalangan pers demi kepentingan umum. Berita humas sering dianggap berita ’basi’ atau berlatar belakang ’abs’, tidak jarang berita humas dengan pers berbeda baik menyangkut gaya penulisan maupun oplah yang terbatas. Selain membina kemitraan dengan Pers, para Humas harus juga tahu tentang Undang-undang yang terkait dengan keterbukaan informasi untuk publik.
HUMAS dan UUKIP:
Ketertutupan dalam mengelola sumber daya publik mengakibatkan meluasnya KKN. Transparency International yang membuat CPI (corruption perception index) telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang tingkat korupsinya masih sangat tinggi (IPK Indonesia pada 2007 berada pada indeks 2,4 turun 0,1 dibanding 2006 yang berada pada indeks 2,3). Dari 180 negara yang disurvei, Indonesia berada di peringkat ke-143 bersama Rusia, Togo, dan Gambia. Inilah Hasil Survey KPK per 30/3/08 terkait dengan IPK dibeberapa instansi pemerintah.
11 Lembaga Negara dengan skor integritas terendah.
Lembaga/Instansi Skor Integritas
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) 5,41
Mahkamah Agung (MA) 5,28
Departemen Kesehatan (Depkes) 5,25
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) 5,16
Departemen Agama (Depag) 5,15
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) 4,85
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) 4,81
PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) 4,76
Departemen Perhubungan (Dephub) 4,24
Badan Pertanahan Nasional (BPN) 4,16
Departemen Hukum dan HAM (Dephukham) 4,15

Dari temuan KPK dibawah ini akan terlihat betapa carut marutnya beberapa lembaga pemeritah terkait dengan korupsi. KPK menilai rata-rata skor integritas sektor publik dari 30 departemen atau instasi tingkat pusat adalah 5,33. Angka itu tergolong rendah, jika dibandingkan skor integritas sektor publik yang dilakukan di negara-negara lain. Sekedar informasi, dalam skala 1-10, skala 10 merupakan angka penilaian yang terbaik. Tragisnya, dua institusi yang menempati posisi paling rendah integritasnya diantara 11 lembaga negara itu adalah BPN dan Dephukham.
Setelah sembilan tahun dibahas, akhirnya tanggal 3 April 2008 DPR telah mensahkan Undang Undang No 14 / 2008 Tentang: Keterbukaan Informasi Publik (UUKIP). UU ini memuat secara komprehensif empat jenis hak atas informasi yang harus diberikan oleh lembaga negara yang didanai APBN, APBD maupun dana luar negeri, yaitu:
1. hak untuk mengetahui,
2. hak untuk mendapatkan informasi (perolehan fisik),
3. hak untuk diinformasikan, serta
4. hak untuk mendayagunakan dan menyebarluaskan informasi.
UUKIP mempertegas aturan maupun batasan informasi yang dapat maupun tidak dapat diakses oleh masyarakat, Pemerintah akan mengeluarkan peraturan untuk mengatur data yang boleh diketahui oleh masyarakat atau yang tidak boleh.
Pasal-pasal Krusial dari UUKIP:
Pasal 51 memberikan sanksi atas penolakan pemberian informasi atau penyalahgunaan informasi yang diperoleh diancam dengan penjara 1 tahun dan atau denda Rp 5 juta. Sedangkan Pasal 52 yaitu pemberian informasi palsu dapat dituntut dengan 1 tahun dan atau denda Rp 5 juta. Penghancuran / perusakan dokumen informasi diancam 2 tahun penjara dan atau denda Rp. 10 juta, sementara pengaksesan informasi oleh yang tidak berhak dan menyebarkan informasi yang dikecualikan pada pasal 17, dapat sanksi penjara 2-3 tahun dan atau denda Rp. 10-20 juta (Pasal 53 dan 54). Namun karena masih dalam pembahasan disana sini, Pasal 64 Ayat 1 UU KIP menyebutkan UU ini baru efektif dua tahun setelah diundangkan (tahun 2010), karena diperlukan cukup waktu untuk sosialisasi dan persiapan bagi aparat dan lembaga pemerintahan terkait dengan persiapan sarana dan prasarana serta pembentukan Komisi Informasi.
Tantangan dan Masalah Kehumasan:
Tidak ada profesi yang lepas dari masalah dan tantangan, justru dengan adanya masalah dan tantangan membuat pekerjaan menjadi menarik karena umumnya kita akan terus berfikir bagaimana menaklukkan tantangan dan kita akan merasakan suatu kepuasan tatkala berhasil mengatasinya. Menunggu berlakunya UUKIP maka ada beberapa pasal yang harus menjadi perhatian para humas karena terkait dengan kinerja atau profesionalisme Humas dalam memberikan informasi. Berikut adalah tantangan humas:
1. Belum berfungsi fungsi humas yang utama yaitu sumber resmi informasi tentang suatu instansi pemerintahan.
2. Praktisi Humas dan Pers belum menjalin kemitraan dan kerjasama yang saling menguntungkan (simbiosa mutualisma).
Sementara masalah dalam Kehumasan juga tidak kalah peliknya, dan secara garis besar dapat dibagi menjadi:
1. Masalah kelembagaan, struktur dan kultur organisasi, kekurangan sarana dan prasarana yang memadai.
2. Sumber daya manusia, rekruitmen menurut kebutuhan, belum memiliki kualifikasi, belum memahami dinamika dalam masyarakat, citra buruk lembaga pemerintah dan PNS warisan pendahulu dll.
Untuk mengatasinya Humas harus direvitalisasi, yaitu segenap tindakan yang dilakukan oleh suatu instansi dalam usaha membina hubungan yang harmonis dengan masyarakat dan membina martabat instansi dalam pandangan masyarakat, guna memperoleh pengertian, kepercayaan, kerjasama dan dukungan dari masyarakat dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya (LAN). Dasar hukum revitalisasi adalah SKB tiga menteri yaitu Mendagri (No. 41 Tahun 2007), Menkominfo (No. 373/M.KOMINFO/08/2007) dan Meneg PAN (No. KB/01/M.PAN/08/2007).
Harapan, saran dan kritik pejabat dan Presiden terhadap Humas:
Kutipan berikut dapat dijadikan sebagai pemicu dan bahan renungan bagi humas:
Mantan Menkominfo Sofyan Djalil: ‘Humas merupakan sumber resmi informasi pemerintah’. Asisten Tatapraja Jakarta Barat H. Sukarno menginginkan ’..fungsi humas dalam organisasi pemerintah, bukan seperti pemahaman yang saat ini masih melekat, dimana fungsi humas masih dianggap sebagai pembuat press release, keprotokolan, dokumentasi, berhubungan dengan media, serta tidak memiliki kemampuan berhubungan dengan masyarakat luas’. Menkominfo Muhammad Nuh: ‘Seorang Humas harus mampu membangun mind-set masyarakat, untuk bangun mind-set masyarakat, apa yang disampaikan pada masyarakat harus ada kandungan edukasi, apa pun produknya’. Piet A Tallo Gubernur NTT: ‘Aparat Humas sebagai juru bicara pemerintah memahami dinamika perubahan serta menjauhkan pola penyampaian informasi yang fragmentaris, humas tidak boleh bertindak bagaikan cerobong asap tanpa filter’. Sekjen Kominfo Dr. Ir. Ahswadi Sasongko :‘Humas mestinya harus menjadi terminal terakhir informasi pemerintah sebelum disampaikan ke publik. Akan menjadi ironis jika humas tahu ada perubahan kebijakan setelah membaca media’. Tuh khan!!
Lima Pesan Presiden untuk Humas:
Presiden menyampaikan lima nasihat bagi Humas pada pertemuan Bakohumas Bali 30/8/07 yaitu:
Pertama sampaikan kebenaran. Saya tidak ijinkan saudara menyampaikan berita yang tidak benar apapun tujuannya. Tidak boleh.
Kedua, jelaskan kepada rakyat, kehumasan harus direncanakan dan dilaksanakan terus menerus, tidak sekali jadi.
Ketiga, gunakan bahasa yang tepat, efektif dan positif. Pada siapa saudara bicara. Target audience anda siapa gunakan bahasa yang pas, efektif.
Keempat, gunakan teknologi informasi, jangan manual terus.
Kelima, jangan merasa sekali menyampaikan menganggap rakyat sudah mengerti. Bisa jadi kontra produktif. Siapa tahu tidak pas. Lakukan evaluasi dan ukur. Sudah sampai dan dimengerti kah pesannya ? Kalau belum diperbaiki lagi sehingga menjadi continuous public relation," kata Presiden.
Kesimpulan dan Saran:
Untuk efektifitas dan efisiensi kerja kehumasan, berikut adalah kesimpulan dan Saran sebagai berikut:
1. Pelajari dan fahami semua peraturan dan landasan hukum yang manaungi kita dalam bekerja.
2. Kembangkan kemampuan dan minat bidang jurnalisme dan menulis.
3. Tingkatkan profesionalisme dengan partisipasi aktif dalam setiap pertemuan.
4. Bina kemitraan dengan pers, rangkul dan bekerja sama dengan mereka.
5. Jangan pernah berkata ‘tidak bisa’ tumbuhkembangkan motivasi untuk maju.
Demikianlah paparan kami tentang bagaimana menuju pranata humas yang ideal pada lembaga pemerintah semoga memberikan manfaat bagi kita semua. (Bhr)
http://www.bbalitvet.org/index.php?option=com_content&task=view&id=144&Itemid=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar